Minggu, 04 Juni 2023

Aksara-Aksara Jawa Bali

Aksara-aksara Brahmik di wilayah Jawa dan Bali ialah yang paling kuat mempertahankan strukturnya sejak zaman dahulu kala.

Aksara Pendahulu

Pulau Jawa mengalami perkembangan pesat dalam peradaban Hindu-Buddha yang datang dari India. Aksara Pallawa atau Pallawa-Grantha dari India selatan maupun aksara Nagari/Pranagari dari India utara keduanya digunakan pada masa itu di berbagai tempat. Bahasa yang digunakan dalam penulisan prasasti-prasasti peninggalan kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini antara lain bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Penggunaan aksara Pallawa tertua di Jawa-Bali diketahui berasal dari kerajaan Tarumanegara dengan prasasti Ciaruteun yaitu dari sekitar abad ke-4 masehi.

Setelah era Pallawa berakhir, muncullah aksara Kawi yang merupakan perkembangan atau transformasi lanjutan dari aksara Pallawa. Aksara Kawi ini berkembang dalam masa yang cukup panjang yang dapat dibagi ke dalam beberapa fase. Dalam setiap fasenya terdapat beragam gaya atau style tulisan yang beragam. Walaupun seberagam itu tulisan yang muncul, mereka semua tak dideklarasikan sebagai aksara yang berbeda-beda. Bagaikan opsi pemilihan style font, aksara Kawi yang satu itu memiliki beragam varian gaya.

Aksara Kini

Carakan yang ada pada saat ini telah mendapatkan bentuk bakunya sejak abad ke-17 dan tidak berubah lagi hingga sekarang. Agaknya ia merupakan transformasi final dari aksara Kawi. Atas pengaruh otoritas kerajaan-kerajaan di Jawa, aksara Carakan penggunaannya menyebar keluar wilayah penutur bahasa Jawa, seperti ke tatar Sunda.
Prasasti Ciaruteun Masa kerajaan Tarumanegara dari Bogor (Oleh Wibowo Djatmiko)

Hanacaraka Jawa dan Bali bagaikan pinang dibelah dua. Bagaikan yang satu dengan dua rupa. Namun nyatanya keduanya memiliki karakteristik fundamental tersendiri. Bahkan jangankan Jawa-Bali, carakan yang sama untuk bahasa Jawa, Kawi, Madura, dan Cirebonan pun masing-masing memiliki tatanan yang berbeda. Begitu pula hanacaraka untuk bahasa Bali dan Sasak. 

Aksara masyarakat Sunda yang sekarang dikenal sebagai aksara Sunda baku merupakan aksara yang lahir belakangan di abad ke-20-an. Ia merupakan rumusan para akademisi Jawa Barat dari aksara Sunda tua yang telah lama ditinggalkan. Aksara Sunda kuna ini pun kemungkinan tidak hanya satu dua rupa saja, sehingga perlulah membakukan aksara Sunda yang juga supaya sesuai dengan penggunaan kontemporer sekarang.

Plang Jalan di kompleks Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat dalam aksara Sunda baku (dok. penulis)

Media Tulis

Manuskrip-manuskrip Jawa umumnya ditulis pada media daun lontar. Penggunaan yang ekstensif hingga zaman modern membuat naskah berbahan kertas juga banyak digunakan. Agaknya lahirnya aksara-aksara modern bersamaan dengan selesainya penggunaan media batu sebagai bahan tulis menulis pada zaman sebelumnya.

Kakawin Ramayana dalam media lontar dari British Library

Aksara lainnya

Selain aksara-aksara Brahmik yang tumbuh bersama peradaban Jawa-Bali, ada pula aksara asing ataupun aksara lain yang belum diketahui asal-muasalnya. Pada masa masuknya Islam, aksara Arab dengan beberapa penyesuaian - yang kemudian dikenal sebagai Pegon - digunakan untuk menulis Jawa dan Sunda. Namun begitu, penggunaan aksara Pegon tak melenyapkan aksara-aksara tradisional yang sudah ada. Malah keduanya digunakan berdampingan. Ada pula aksara lainnya seperti Rikasara Cirebon, aksara Layang Jayabaya yang belum diketahui asal usulnya secara jelas dan penggunaannya masih menimbulkan pro dan kontra.

Rikasara Cirebon

Bahan Bacaan
  • Baidillah , I. , dkk . ( 2008 ) . Direktori Aksara Sunda untuk Unicode . Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat 
  • Kumar , A. & McGlynn , J.H. ( 1996 ) . Illuminations : The Writing Traditions of Indonesia . New York : Weatherhill . Diakses secara daring dari situs Internet Archieve . https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma 
  • Maulana, R. (2020) Aksara-Aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia. Yogyakarta: Samudra Biru.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar