Minggu, 12 Januari 2020

Pemetaan Aksara-Aksara Di Nusantara

Pemetaan Aksara-Aksara di Nusantara

Sebagaimana tujuan penulis dalam menulis blog ini yaitu untuk menghimpun segala macam pengetahuan keaksaraan di Nusantara, maka penulis mencatatkan semua informasi yang didapat. Karena semua yang didapat tidak boleh hanya terkumpul begitu saja karena akan terdapat kontradiksi pandangan berbagai pihak mengenai informasi yang dikumpulkan.

Gambar: Pemetaan Aksara di Asia Tenggara (Dokumen pribadi penulis)


Pemetaan aksara di Nusantara

Dengan pemetaan yang telah sebelumnya penulis buat, menggunakan batas-batas wilayah linguistik, penulis memproduksi peta baru dengan simplifikasi, penambahan, dan pengkategorian lanjutan.

Dalam pemetaan yang penulis buat tersebut, penulis ingin memudahkan diri sendiri dengan menggolongkan aksara menjadi lima, dicirikan dengan 5 warna pin.

Merah adalah aksara turunan pallawa yang masih digunakan hingga kini (masih muncul di mana2 sebagai aksara hidup; di papan jalan, di buku sekolah, dsb), atau non-pallawa yang merupakan tradisi yang kuat (tinggalan naskahnya banyak, masyarakat masih menjaga, masih hidup)

Jingga adalah aksara turunan pallawa yang sudah tua (kuno; tak lagi digunakan, muncul dalam naskah kuno/prasasti)

Ungu adalah aksara buatan yang historis, diketahui siapa pembuatnya dan tujuan pembuatan & penggunaannya tercatat jelas dalam sejarah

Hitam adalah aksara yang tidak berasal dari kebudayaan pallawa, aksara yang diadopsi dari luar, hal ini dapat dicirikan dari segi bentuk, sistem (alfabetis/abugida), sejarah masuk, dan sebagainya.

Hijau lumut adalah aksara yang tidak diketahui banyak asal usulnya, bukti tinggalan kunonya sedikit/hampir tidak ada, sejarah/tradisi tanpa rujukan, terputus dari rantai kebudayaan pallawa, dan sebagainya.

perlu diketahui bahwa Nusantara pertama kali mengenal tulisan berupa Pallawa dengan bukti tertua prasasti Yupa (300/400M). Dari tradisi pallawa tersebut, tiap-tiap penyimpangan penulisan melahirkan model aksara baru seperti kawi, buda, kemudian makin berkembang dan menyebar, bentuknya makin menyimpang dan jadilah aksara baru tersebut dengan ciri khas lokal yang nantinya menjadi identitas. Jadi secara garis besar, aksara tradisional yang kini ada merupakan hasil kebudayaan Pallawa.
 Silsilah aksara menurut Dr. Uli Kozok

Aksara turunan pallawa setidaknya dapat dicirikan sebagai berikut:
- bisa diperbandingkan kemiripan bentuknya
- bersistem abugida

Aksara yang merupakan keturunan dari aksara induk yang lain adalah penyambung peradaban tradisi tulis menulis yang sudah sangat tua. Disisi lain, aksara yang baru diciptakan adalah kebudayaan baru yang independen yang dapat melayani tradisi literasi suatu kaum yang sebelumnya tidak ada.
Silsilah aksara yang dibuat oleh Starkey

Aksara Buatan/Conscript yang dibuat bisa saja tidak melulu merupakan hasil pemikiran murni yang terisolasi dari luar. Beberapa aksara buatan secara terang-terangan melabeli dirinya dibuat atas dasar inspirasi dari bentuk suatu aksara yang lain. 

Fenomena saat ini banyak bermunculan aksara-aksara lokal yang dapat dikategorikan dengan pin hijau lumut. Secara bentuk dan sistem apabila ia terputus dari rantai kebudayaan pallawa, maka dipastikan perkembangan aksara tsb tidak berbarengan dengan tradisi pallawa (bisa jadi lebih tua atau lebih muda).

Naskah tinggalan kuno sebagai bukti historis paling otentik dapat dijadikan sumber penguat keberadaan tradisi tulis aksara tersebut, namun jika tidak ditemukan, maka akan bertambah tinggi keraguan akan asal muasal aksara tersebut. Tidak heran jika ada peneliti yang mentah-mentah menolak menyebut bahwa suatu aksara merupakan aksara dari hasil kebudayaan suatu kaum, melainkan menyebut bahwa aksara tersebut adalah hasil rekaan seseorang saja. Untuk itulah pelurusan sejarah melalui penelitian penting dilakukan dengan melibatkan pakar yang kompeten di bidangnya.

Upaya penyelamatan aksara dari kepunahan adalah sangat penting, tetapi klaim sepihak dan histeria massa yang mendukung akan lebih baik jika juga diimbangi pengetahuan soal asal usul tradisi dari aksara yang tidak hanya ditelan bulat-bulat saja.

Agar suatu tradisi tulisan memiliki sejarah yang jelas, Para penggiat aksara ber-pin hijau tua mesti segera meluruskan sejarah melalui penelitian atau membiarkan sejarahnya mengambang tanpa sejarah tradisi yang jelas.

Aksara pin hijau tua yang telah mendapatkan massa yang tertarik untuk mempelajari dan menggunakan, akan lebih mudah mendapat predikat sebagai conscript/aksara buatan yang memiliki nilai historis (menjadi pin ungu) yang sah digunakan tanpa perdebatan jika asal usulnya sudah jelas yaitu antara suatu tokoh menciptakannya lalu diperkenalkan kepada masyarakat, atau dipakai oleh segelintir orang sebagai aksara pribadi pada masanya.


1 komentar:

  1. Kalau Cia-via dengan Hangul dimasukkan, mengapa Jawi atau Arab-Melayu tidak ada di peta?

    BalasHapus