Jumat, 02 Juni 2023

Aksara-Aksara Sumatera

Secara garis besar, aksara-aksara Brahmik di wilayah Sumatera terbagi menjadi dua golongan, yaitu Rumpun Batak dan Rumpun Surat Ulu. Hal ini dapat dilihat jelas dari keserupaan bentuk dari tiap aksara anggota rumpun tersebut.

Aksara Pendahulu

Aksara yang lebih dahulu digunakan di Pulau Sumatera ialah aksara Pallawa atau Pallawa-Grantha dari India selatan yang masuk bersama menyebar dan berkembangnya ajaran Hindu-Buddha. Tinggalan yang banyak ditemukan dari berbagai peradaban kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya dan Malayu ialah prasasti yang banyak tersebar dari Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan wilayah lainnya. Aksara kuna lainnya yang juga pernah digunakan ialah aksara Nagari/Pranagari dari India utara. Bahasa yang digunakan dalam penulisan prasasti-prasasti peninggalan kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini antara lain bahasa Sansekerta, bahasa Melayu Kuno, dan bahkan beberapa ditemukan dalam bahasa Tamil. 
Nisan Minye Tujoh oleh Stutterheim (1936) dari researchgate.net

Setelah era Pallawa berakhir, muncullah aksara Pasca-Pallawa atau aksara Malayu yang merupakan perkembangan/transformasi lanjutan dari aksara Pallawa. Aksara yang kemudian populer dengan sebutan 'Kawi Sumatera' ini ditemukan pada manuskrip abad ke-14 yang terkenal sebagai manuskrip Melayu tertua, yaitu naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dari Kerinci, Jambi. Aksara tua lainnya yang juga terdapat dalam manuskrip tersebut ialah aksara Rencong Tanjung Tanah, yang kemudian juga diduga kuat menjadi cikal bakal surat Ulu di kemudian hari. Selain itu aksara perkembangan Pallawa lainnya juga ditemukan di tempat lain seperti di Aceh dengan peninggalan batu Minye Tujoh.

Aksara Kini

Aksara yang kini masih terpelihara di wilayah Sumatera terbagi menjadi dua rumpun, yaitu rumpun Batak, yang terdiri dari lima sub sesuai etnik-etnik Batak di Sumatera Utara yaitu Toba, Karo, Pakpak (Dairi), Simalungun, dan Mandailing-Angkola

Kemudian di pulau Sumatera bagian selatan terdapat rumpun Ulu/Rencong yang dapat dipecah menjadi tiga besar yaitu aksara Incung/Kerinci, aksara Ulu/Kaganga, dan aksara Lampung. Dalam ketiga bagian besar tersebut terdapat lagi beragam subvarian aksara sesuai regionalnya. 

Aksara-aksara Ulu di Sumatera Bagian selatan ialah aksara yang paling kaya untuk dieksplorasi karena hampir tiap wilayah memiliki variannya sendiri karena luasnya sebaran etnik penggunanya tersebut. Namun secara garis besar aksara Ulu yang telah diteliti terbagi menjadi empat golongan-etnis yaitu Rejang, Lembak, Pasemah, dan Serawai

Aksara-Aksara Sumatera Selatan

Aksara Incung di Sumatera tengah/Jambi setidaknya memiliki dua variasi dari catatan paling masyhur yaitu catatan L.C. Westenenk dan Marsden. Semua pengetahuan mengenai aksara Incung saat ini nyaris hanya berbekal pada kedua catatan itu saja. Belum ada catatan lain yang dikeluarkan atau diperbarui. 

Selain itu di ujung selatan pulau Sumatera terdapat aksara Lampung yang secara tradisional juga memiliki beragam variasi bentuk. Bentuk yang dikenal dan digunakan secara luas pada saat ini ialah hasil pembakuan aksara tersebut, sedangkan yang lainnya dirujuk sebagai Lampung lama.
Aksara Lampung Lama

Media Tulis
Naskah Gelumpai Bambu

Manuskrip-manuskrip Sumatera umumnya ditulis pada media kulit kayu dan bambu. Pada beberapa kebudayaan, aksara juga ditulis pada tanduk hewan (yaitu kerbau), misalnya di Kerinci dan juga Batak. Ada pula aksara yang dituliskan pada media yang keras seperti lempengan logam di Lampung dan batu di wilayah Batak.

Aksara lainnya

Selain aksara-aksara Brahmik yang tumbuh bersama peradaban Sumatera, ada pula aksara asing ataupun aksara lain yang belum diketahui asal-muasalnya. Pada masa masuknya Islam, aksara Arab dengan beberapa penyesuaian - yang kemudian dikenal sebagai Arab Melayu/Jawi - digunakan untuk menulis bahasa-bahasa Sumatera seperti Melayu, Minangkabau, dan Aceh. Namun begitu, penggunaan aksara Jawi tak melenyapkan aksara-aksara tradisional yang sudah ada. Malah keduanya digunakan berdampingan. Ada pula aksara lainnya seperti aksara Minangkabau, aksara Gayo, dan aksara Palembang yang belum diketahui asal usulnya secara jelas dan penggunaannya masih menimbulkan pro dan kontra.

Aksara Minangkabau (Atas) Aksara Palembang (Bawah)


Bahan Bacaan
  • Kozok , U. ( 2006 ) . Kitab Undang Undang Tanjung Tanah , Naskah Melayu yang Tertua . Yayasan Naskah Nusantara & Yayasan Obor Nusantara . 
  • Kozok , U. ( 2009 ) . Surat Batak , Sejarah Perkembangan Tulisan Batak . Kepustakaan Populer Gramedia . 
  • Kozok , U. ( 2012 ) . Manuskrip Melayu abad 14 Dari Kerinci . Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu , 3 ( 2 ) , 85-104 . 
  • Maulana, R. (2020) Aksara-Aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia. Yogyakarta: Samudra Biru.
  • Santoso. (2007). AKSARA KAGANGA Produk Budaya Adiluhung Leluhur. Curup: [penerbit tidak diketahui]. Sarwono, S., & Rahayu, N. (2017). Pusat penulisan dan para penulis manuskrip Uu di Bengkulu. UNIB Press. 
  • Pudjiastuti, T., & Jaruki, M. (1996). Aksara dan naskah kuno lampung dalam pandangan masyarakat lampung kini. Dirjen Kebudayaan Depdikbud. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar