Minggu, 18 Februari 2018

Mengenal Variasi Aksara Incung Kerinci

Aksara Incung Kerinci


Jenis: Abugida/aksara Silabik
Asal: Kerinci, Jambi (Sumatera Tengah)
Bahasa: Kerinci, Melayu
Direksi: Kiri - Kanan
Baris Unicode: Belum terdaftar
Sebutan Lain:

Surat Incoung digunakan di wilayah Kerinci, Jambi. Dahulu aksara ini biasa ditulis dengan media kulit kayu, bambu, atau diukir di tanduk kerbau, untuk menulis catatan silsilah, ratapan, dan dokumen perjanjian batas wilayah secara tradisional.

Contoh Manuskrip Aksara Incoung pada media kulit kayu (https://hafifulhadi.blogspot.co.id/2013/09/kajian-pusaka-incung-kerinci-bag-1.html) 

Naskah-naskah bersurat Incoung biasa disimpan oleh masyarakat secara turun temurun sebagai bagian dari pusaka yang dikeramatkan. Walaupun begitu, hanya sedikit sekali masyarakat yang masih dapat membaca isi naskah tersebut.

Aksara Incung Catatan Marsden

William Marsden adalah seorang Inggris yang ditempatkan di Bengkulu oleh EIC merupakan orang pertama yang meneliti aksara Incung. Dalam tulisannya dikatakan bahwa ia mempelajarinya dari seorang guru pribumi. Ia menuliskan hasil penelitiannya dalam “On the Polynesian, or East insular Languages” (Miscellaneous Works of William Marsden, 1835). 

Catatannya memuat huruf-huruf yang jarang ditemukan yaitu /aha/, /hia/, dan /hha/. Selain itu aksara ini tidak tersusun sebagaimana aksara lainnya yang sekerabat yaitu bersusunan ka-ga-nga. Diperkirakan juga bahwa huruf-huruf yang ditulisnya berasal dari naskah-naskah bambu. Setelah Marsden penelitian mengenai aksara incung sempat terhenti dan akhirnya dilanjutkan oleh Westernenk.

Marsden mencatan nama-nama dari setiap huruf dan membuat transliterasinya sesuai bahasa inggris. Kekurangan dari catatannya ialah tidak tercatatnya huruf ‘da’ dan ‘mba’.

Aksara Incung Catatan Westernenk

Setelah lama berselang, penelitian mengenai aksara ini terbuka melalui Edward Jacobson, seorang naturalis yang melakukan penelitian di Kerinci pada 1915. Disela penelitiannya, ia mendapat kabar bahwa masyarakat disana banyak memiliki pusaka berupa naskah-naskah kuna yang tak lagi dapat dibaca masyarakat. Jacobson kemudian meminta diperbolehkan menyalin naskah-naskah tersebut untuk coba ia baca. Setelah tidak membuahkan hasil, Jacobson meminta bantuan rekannya, L. C. Westernenk, seorang Residen di Bengkulu dengan mengirim 27 buah salinan naskah. Westernenk sendiri sebenarnya tidak pernah sampai datang ke Kerinci, ia mentransliterasikan salinan naskah tersebut berbekal dari pengalamannya melakukan hal yang sama pada naskah rencong tahun 1919. Setelah berhasil, Westernenk menyusun alfabetnya sebagai berikut.
Gambar dari Miller (2011)

Apa yang telah dicatat oleh para peneliti sejatinya merupakan sebagian dari yang telah terungkap. Tidak dipungkiri juga bahwa mungkin ia menuliskan informasi yang keliru. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menungkap sepenuhnya aksara ini.


*tanda baca [e] dan [o] adalah tambahan baru dari hasil kesepakatan “Seminar Aksara Kuno Kerinci” tahun 1992. Namun penggunaannya masih menimbulkan pro dan kontra.

Meskipun telah ditinggalkan, aksara Incoung masih tetap digunakan pada plang-plang nama jalan dan nama instansi publik di Kerinci. Namun sangat disayangkan masih terdapat kekurang telitian dalam penulisannya.
Papan nama jalan: http://fallenpx.blogspot.co.id/2011/08/20-tahun-dan-1500-mil-kemudian-iii.html

Pedoman Singkat Penulisan Aksara Incung
  • Surat Incoung memiliki beberapa variasi bentuk untuk beberapa huruf dan tanda baca. Dalam menulis hendaknya pilihlah salah satu bentuk varian huruf atau tanda baca saja untuk digunakan diseluruh teks. 
  • Penulisan diftong: diftong [au] ditulis dengan bantuan huruf ‘wa’ mati dan untuk diftong [ai] ditulis dengan bantuan huruf ‘ya’ mati. Penggunaan aksara vokal ‘i’ dan ‘u’ untuk diftong adalah tidak tepat. Misalnya, ‘sungai’ dalam aksara Incung akan ditulis 'sungay' bukan sunga-i. 
  • Tanda baca [i] dan [-h] jika digunakan bersamaan, maka tanda baca [-h] yang terlebih dulu harus ditulis. Misalnya “Sirih” ditulis sir-h-i bukan siri-h. 
  • Tanda baca [e] dan [o] dapat digunakan sesuai dengan kesepakatan Seminar Aksara Kuno Kerinci tahun 1992. Jika tidak digunakan, bunyi suara bervokal [e] dapat hanya ditulis dengan aksara dasar saja dan untuk beberapa kesesuaian, dapat pula ditulis dengan dibubuhi tanda baca [i], dan untuk bunyi suara bervokal o dapat ditulis/diwakilkan dengan aksara dasar dengan tanda baca [u]. Misalnya: 
  • “Pemerintah” ditulis ‘pamarintah’ 

  • “Oleh” ditulis ‘ulih’ 

  • “Seorang” ditulis ‘saurang’

  • “Kemerdekaan” ditulis ‘kamardikaan’  


Referensi:
[1] Uli Kozok, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu yang Tertua (Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara & Yayasan Obor Indonesia, 2006)
[2] facebook.com/aksaradinusantara (tagar: #Selasa incoung)
[3] Christopher Miller (2011): Indonesian and Philippine scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode




3 komentar: